Demi anak, orang tua akan memberikan yang terbaik, apalagi soal asupan. Namun saat jatuh sakit, sebagian besar dari mereka akan bertanya-tanya, mengapa gerangan si kecil bisa sakit padahal mereka selalu memberikan makanan bergizi untuk anak.
"Bayi yang kekurangan gizi selama 1000 hari pertama kehidupan akan (tumbuh) menjadi ibu yang pendek dan ibu yang pendek berisiko melahirkan bayi yang juga kurang optimal tumbuhnya," tegas Prof dr Endang L Achadi, MPH, Dr.PH., di seminar Nutritalk dalam rangka ulang tahun ke-60 Sari Husada di Hotel Hyatt Yogyakarta dan ditulis Selasa (2/9/2014).
Dengan kata lain, staf pengajar Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) tersebut menunjukkan ada tidaknya gangguan pada janin dapat dilihat dari status gizi ibunya, apakah ibunya pendek, apakah ibunya kurus menjelang hamil, atau apakah ibunya mengalami pertambahan berat badan yang kurang optimal saat mengandung.
"Jadi kalau ibunya kurus, pendek, tidak bertambah berat badannya itu risikonya lebih besar melahirkan janin yang tidak tumbuh optimal," imbuhnya.
Namun yang tak kalah penting, Prof Endang mengatakan apa yang terjadi pada anak saat ini bukan semata 'kesalahan' orang tuanya, melainkan harus dirunut sejak si nenek mengandung ibunya.
"(Pasalnya) ketika nenek mengandung ibu, pada waktu yang sama nenek juga berperan dalam membentuk sel telur yang nantinya akan menjadi cucu si nenek. Selain itu nenek juga mendonasikan gen, di samping si bapak," terang Ketua II PP PDGMI (Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia) tersebut.
Hal ini diamini Dr Pinky Saptandari, MA dalam kesempatan yang sama. "Selain dikatakan mengkontribusikan gen pada cucunya, maka nenek juga berkontribusi di dalam pembentukan pola makan. Sejak cucunya masih dalam kandungan, nenek sudah menentukan makanan apa yang sebaiknya diberikan oleh ibu (anaknya) kepada si cucu," terangnya.
Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tersebut menerangkan kebiasaan dan kepercayaan pada pola makan tertentu yang 'dianut' seseorang berpengaruh terhadap pemberian gizi kepada anak dan cucunya.
"Seperti di NTB, bayi diberi makan nasi yang lebih dulu dikunyah ibu atau neneknya. Apa yang dia dapatkan? Tentu saja ampas atau sesuatu yang sudah tidak ada sarinya, tidak ada gizinya. Kemudian di Madura, ada cara makan yang namanya 'didublak'. Itu nasi sama pisang dipaksakan masuk ke mulut si bayi sampai tersedak-sedak. Katanya itu yang bikin orang Madura fisiknya kuat-kuat," kisahnya.
Untuk itu menurut Dr Pinky, bagian dari budaya pengasuhan anak yang keliru inilah yang diduga tak hanya menyebabkan anak-anak Indonesia pendek, tetapi juga meningkatkan angka kematian ibu dan anak. "Target MDG's 2015 kita kan menurunkan angka kematian ibu dan anak sampai 102 kasus/100.000 kelahiran. Padahal kita sudah tidak mungkin mencapai itu karena sekarang angkanya malah naik jadi 359/100.000 kelahiran," keluhnya.
"Bayi yang kekurangan gizi selama 1000 hari pertama kehidupan akan (tumbuh) menjadi ibu yang pendek dan ibu yang pendek berisiko melahirkan bayi yang juga kurang optimal tumbuhnya," tegas Prof dr Endang L Achadi, MPH, Dr.PH., di seminar Nutritalk dalam rangka ulang tahun ke-60 Sari Husada di Hotel Hyatt Yogyakarta dan ditulis Selasa (2/9/2014).
Dengan kata lain, staf pengajar Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) tersebut menunjukkan ada tidaknya gangguan pada janin dapat dilihat dari status gizi ibunya, apakah ibunya pendek, apakah ibunya kurus menjelang hamil, atau apakah ibunya mengalami pertambahan berat badan yang kurang optimal saat mengandung.
"Jadi kalau ibunya kurus, pendek, tidak bertambah berat badannya itu risikonya lebih besar melahirkan janin yang tidak tumbuh optimal," imbuhnya.
Namun yang tak kalah penting, Prof Endang mengatakan apa yang terjadi pada anak saat ini bukan semata 'kesalahan' orang tuanya, melainkan harus dirunut sejak si nenek mengandung ibunya.
"(Pasalnya) ketika nenek mengandung ibu, pada waktu yang sama nenek juga berperan dalam membentuk sel telur yang nantinya akan menjadi cucu si nenek. Selain itu nenek juga mendonasikan gen, di samping si bapak," terang Ketua II PP PDGMI (Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia) tersebut.
Hal ini diamini Dr Pinky Saptandari, MA dalam kesempatan yang sama. "Selain dikatakan mengkontribusikan gen pada cucunya, maka nenek juga berkontribusi di dalam pembentukan pola makan. Sejak cucunya masih dalam kandungan, nenek sudah menentukan makanan apa yang sebaiknya diberikan oleh ibu (anaknya) kepada si cucu," terangnya.
Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tersebut menerangkan kebiasaan dan kepercayaan pada pola makan tertentu yang 'dianut' seseorang berpengaruh terhadap pemberian gizi kepada anak dan cucunya.
"Seperti di NTB, bayi diberi makan nasi yang lebih dulu dikunyah ibu atau neneknya. Apa yang dia dapatkan? Tentu saja ampas atau sesuatu yang sudah tidak ada sarinya, tidak ada gizinya. Kemudian di Madura, ada cara makan yang namanya 'didublak'. Itu nasi sama pisang dipaksakan masuk ke mulut si bayi sampai tersedak-sedak. Katanya itu yang bikin orang Madura fisiknya kuat-kuat," kisahnya.
Untuk itu menurut Dr Pinky, bagian dari budaya pengasuhan anak yang keliru inilah yang diduga tak hanya menyebabkan anak-anak Indonesia pendek, tetapi juga meningkatkan angka kematian ibu dan anak. "Target MDG's 2015 kita kan menurunkan angka kematian ibu dan anak sampai 102 kasus/100.000 kelahiran. Padahal kita sudah tidak mungkin mencapai itu karena sekarang angkanya malah naik jadi 359/100.000 kelahiran," keluhnya.
Tag :
Relationship
0 Komentar untuk "Anak Mudah Sakit Belum Tentu Dosa Orang Tua Sebelumnya"
Komen datang masuk angin hilang !