Pertama kali melihat buku kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku, saya berpikir bagaimanakah cara seorang penulis menceritakan sepotong senja untuk seorang kekasihnya?
Didasari rasa penasaran itu, saya memutuskan untuk membacanya. Sekitar dua hari saya rampung membaca kumpulan cerpen ini, usai membacanya barulah saya mengerti apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kelahiran Boston, Amerika Serikat 19 juni 1958 itu.
Cinta tidak melulu harus disampaikan melalui kata-kata, tapi cinta membutuhkan sebuah pembuktian.
Lewat adegan pemotongan senja oleh Sukab, Seno seolah ingin membenarkan, bahwa cinta—sekali lagi—tak butuh banyak kata-kata, ia butuh bukti. Sukab tidak ingin memperbanyak kata-kata yang telah tertulis tentang cinta di dunia, di mana orang-orang terlalu sibuk dengan kata-katanya sendiri. Sukab memotong senja untuk kekasihnya dan menggemparkan dunia. Senja yang ia potong dengan sengaja itu kemudian ia kirimkan kepada kekasih yang selalu dicintainya; Alina. Senja yang indah lengkap dengan deburan ombak, pasir putih, perahu yang berlayar di kejauhan dan burung-burung yang beterbangan di sekitarnya. Begitulah Seno menulis dalam ceritanya.
Cerpen ini, seolah ingin memunculkan suatu kritik sosial; begitu sibuknya orang di tengah kehidupan metropolitan, sehinga waktu untuk menikmati senja yang indah terasa begitu langka. Padahal menyaksikan senja tidak perlu membayar. Yang menikmatinya hanya turis. Kritik sosial itu digambarkan secara tersirat pada percakapan dalam diri tokoh Sukab. Ia beranggapan bahwa polisi mengejarnya bukan karena sepotong senja yang hilang, bukan pula karena Sukab mencurinya, melainkan karena nilai komersil, sebagai objek wisata. Turis suka memotret senja dan ini adalah jualan pariwisata.
Seolah sutradara film Hollywood, dalam cerpen ini Seno memunculkan adegan kejar-kejaran yang menegangkan, mobil yang terbakar, sirine mobil polisi yang meraung, lorong-lorong bawah tanah yang kumuh diramu menjadi adegan yang menegangkan. Sepotong senja yang dicuri oleh Sukab membuat gempar para pengunjung pantai dan polisi tidak tinggal diam.
Cerpen ini konon ditulis berdasarkan sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuan Kecil (1946) dengan seting lokasi yang terpengaruh dari gaya surealis Danarto. Paris Nostradamus (1988) adalah kota persis Paris di bawah tanah. Di dalam sebuah lorong bawah tanah ada sebuah tempat yang sama, di mana Sukab mencuri senja. Seno membuat resolusi konflik dengan membuat Sukab memotong senja di lorong bawah tanah untuk mengganti senja asli yang ia curi. Untuk menuntaskan cerita, Seno memakai kalimat Sardono W. Kusumo, Di Tengah Hutan Apo Kayan, Kalimantan Timur, 1981 “Untuk siapakah bunga itu mekar di hutan ini kalau tak ada seorangpun yang melihatnya”.
Dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku ini, kita disuguhkan penggambaran senja yang indah dan bagaiman cinta yang mendalam biasa membuat kita mengesampingkan logika-logika, betapa sesuatu yang sepertinya mustahil, akan kita lakukan untuk orang yang kita cintai. Penulis juga menggambarkan bagaimana suasana hati yang pilu karena cinta. Seperti cerpen yang berjudul ”Hujan, Senja, dan cinta,” cerpen ini menceritakan seorang perempuan yang sudah menikah dan selalu risih dengan hujan yang di kirimkan oleh mantan kekasihnya. Hujan itu tidak akan berhenti bila sang mantan kekasih masih mencintainya.
Perempuan yang sudah menikah itu ingin hujan itu reda, hampir semua aktivitasnya tertunda gara-gara hujan, namun ketika hujan mulai reda ia menjadi takut kalau mantan kekasihnya mulai mencintai orang lain. Begitu pula di cerpen “Jawaban Alina” atas surat dan sepotong senja yang dikirim oleh Sukab, setelah membaca Balasan Alina ini, kita tahu bahwa Alina tidak peranah mencintai Sukab. Alina sudah bersuami dan memiliki anak, dan ia sangat risih dengan cinta Sukab yang berlebihan. Begitu malang nasib Sukab memendam cinta yang bertepuk sebelah tangan sepanjang hidupnya.
Membaca cerita-cerita dalam buku ini, kita juga diingatkan pada kisah-kisah pembuktian cinta yang tak masuk akal di zaman-zaman dahulu. Pembangunan TaJ Mahal di India oleh raja Shah Jahan untuk mengenang mendiang istri bernama Muntaz Ul Zamni yang meninggal setelah melahirkan anaknya yang ke-14. Atau cerita-cerita Nusantara sepert Sangkuriang yang mencintai Dayang Sumbi yang tak lain adalah ibunya sendiri, atau tentang pembuatan candi Prambanan di mana Badung Bondowoso harus menyelesaikan pembuatan seribu candi dalam semalam untuk gadis cantik bernama Roro Jongrang.
Membaca kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku ini akan membuat kita berpikir betapa cinta begitu memabukkan sehingga bisa membuat orang melakukan apa saja untuk cinta, namun di sisi lainnya betapa cinta melahirkan begitu banyak penderitan, membuat hati teriris. Sebuah pengorbanan cinta yang begitu dahsyat, namun ditulis dalam bentuk fiksi yang apik.
Didasari rasa penasaran itu, saya memutuskan untuk membacanya. Sekitar dua hari saya rampung membaca kumpulan cerpen ini, usai membacanya barulah saya mengerti apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kelahiran Boston, Amerika Serikat 19 juni 1958 itu.
Cinta tidak melulu harus disampaikan melalui kata-kata, tapi cinta membutuhkan sebuah pembuktian.
Lewat adegan pemotongan senja oleh Sukab, Seno seolah ingin membenarkan, bahwa cinta—sekali lagi—tak butuh banyak kata-kata, ia butuh bukti. Sukab tidak ingin memperbanyak kata-kata yang telah tertulis tentang cinta di dunia, di mana orang-orang terlalu sibuk dengan kata-katanya sendiri. Sukab memotong senja untuk kekasihnya dan menggemparkan dunia. Senja yang ia potong dengan sengaja itu kemudian ia kirimkan kepada kekasih yang selalu dicintainya; Alina. Senja yang indah lengkap dengan deburan ombak, pasir putih, perahu yang berlayar di kejauhan dan burung-burung yang beterbangan di sekitarnya. Begitulah Seno menulis dalam ceritanya.
Cerpen ini, seolah ingin memunculkan suatu kritik sosial; begitu sibuknya orang di tengah kehidupan metropolitan, sehinga waktu untuk menikmati senja yang indah terasa begitu langka. Padahal menyaksikan senja tidak perlu membayar. Yang menikmatinya hanya turis. Kritik sosial itu digambarkan secara tersirat pada percakapan dalam diri tokoh Sukab. Ia beranggapan bahwa polisi mengejarnya bukan karena sepotong senja yang hilang, bukan pula karena Sukab mencurinya, melainkan karena nilai komersil, sebagai objek wisata. Turis suka memotret senja dan ini adalah jualan pariwisata.
Seolah sutradara film Hollywood, dalam cerpen ini Seno memunculkan adegan kejar-kejaran yang menegangkan, mobil yang terbakar, sirine mobil polisi yang meraung, lorong-lorong bawah tanah yang kumuh diramu menjadi adegan yang menegangkan. Sepotong senja yang dicuri oleh Sukab membuat gempar para pengunjung pantai dan polisi tidak tinggal diam.
Cerpen ini konon ditulis berdasarkan sajak Chairil Anwar, Senja di Pelabuan Kecil (1946) dengan seting lokasi yang terpengaruh dari gaya surealis Danarto. Paris Nostradamus (1988) adalah kota persis Paris di bawah tanah. Di dalam sebuah lorong bawah tanah ada sebuah tempat yang sama, di mana Sukab mencuri senja. Seno membuat resolusi konflik dengan membuat Sukab memotong senja di lorong bawah tanah untuk mengganti senja asli yang ia curi. Untuk menuntaskan cerita, Seno memakai kalimat Sardono W. Kusumo, Di Tengah Hutan Apo Kayan, Kalimantan Timur, 1981 “Untuk siapakah bunga itu mekar di hutan ini kalau tak ada seorangpun yang melihatnya”.
Dalam kumpulan cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku ini, kita disuguhkan penggambaran senja yang indah dan bagaiman cinta yang mendalam biasa membuat kita mengesampingkan logika-logika, betapa sesuatu yang sepertinya mustahil, akan kita lakukan untuk orang yang kita cintai. Penulis juga menggambarkan bagaimana suasana hati yang pilu karena cinta. Seperti cerpen yang berjudul ”Hujan, Senja, dan cinta,” cerpen ini menceritakan seorang perempuan yang sudah menikah dan selalu risih dengan hujan yang di kirimkan oleh mantan kekasihnya. Hujan itu tidak akan berhenti bila sang mantan kekasih masih mencintainya.
Perempuan yang sudah menikah itu ingin hujan itu reda, hampir semua aktivitasnya tertunda gara-gara hujan, namun ketika hujan mulai reda ia menjadi takut kalau mantan kekasihnya mulai mencintai orang lain. Begitu pula di cerpen “Jawaban Alina” atas surat dan sepotong senja yang dikirim oleh Sukab, setelah membaca Balasan Alina ini, kita tahu bahwa Alina tidak peranah mencintai Sukab. Alina sudah bersuami dan memiliki anak, dan ia sangat risih dengan cinta Sukab yang berlebihan. Begitu malang nasib Sukab memendam cinta yang bertepuk sebelah tangan sepanjang hidupnya.
Membaca cerita-cerita dalam buku ini, kita juga diingatkan pada kisah-kisah pembuktian cinta yang tak masuk akal di zaman-zaman dahulu. Pembangunan TaJ Mahal di India oleh raja Shah Jahan untuk mengenang mendiang istri bernama Muntaz Ul Zamni yang meninggal setelah melahirkan anaknya yang ke-14. Atau cerita-cerita Nusantara sepert Sangkuriang yang mencintai Dayang Sumbi yang tak lain adalah ibunya sendiri, atau tentang pembuatan candi Prambanan di mana Badung Bondowoso harus menyelesaikan pembuatan seribu candi dalam semalam untuk gadis cantik bernama Roro Jongrang.
Membaca kumpulan cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku ini akan membuat kita berpikir betapa cinta begitu memabukkan sehingga bisa membuat orang melakukan apa saja untuk cinta, namun di sisi lainnya betapa cinta melahirkan begitu banyak penderitan, membuat hati teriris. Sebuah pengorbanan cinta yang begitu dahsyat, namun ditulis dalam bentuk fiksi yang apik.
Tag :
Seni dan Budaya
0 Komentar untuk "Resensi Novel " Sepotong Senja untuk Pacarku: Cinta Itu Memabukkan ""
Komen datang masuk angin hilang !